Selasa, 28 Agustus 2012

BUDAYA HUKUM


(Tugas Sosiologi Hukum)

Budaya hukum penegak hukum berbeda dengan budaya hukum masyarakat karena fungsi hukum saat ini bukan sekedar mengukuhkan nilai-nilai baru. Pertanyaan:
  1. Mengapa terjadi perkembangan tujuan hukum? Kaitkan dengan fungsi hukum!
  2. Jelaskan tentang cita hukum dan kegunaannya!
  3. Bagaimana komentar saudara tentang pembentukan hukum saat ini?
  4. Mengapa harus dilakukan pergeseran paradigma moral?
Jawaban:
  1. Hukum, dalam perkembangannya tidak hanya dipergunakan untuk mengatur tingkah laku yang telah ada di masyarakat dan mempertahankan pola kebiasaan yang ada, melainkan juga sebagai sarana atau alat. Mochtar Kusumaatmaja beranggapan bahwa hukum seharusnya diperankan sebagai sarana (bukan alat) pembaharuan masyarakat atau law is a tool of social engineering untuk mencapai kemajuan peradaban masyarakat. Dalam kaitan law is a tool of social engineering, hukum ditempatkan sebagai sarana yang bersifat dinamis sehingga berisi perkembangan-perkembangan yang bersifat adaktif terhadap perkembangan masyarakat yang begitu cepat. Karena perubahan dan perkembangan masyarakat yang begitu cepat, maka tujuan dari perkembangan hukum juga mengalami perubahan. Dalam kaitannya hukum sebagai sarana atau alat maka hukum telah dikonsepsikan sebagai hukum modern. Hal ini dikarenakan hukum merupakan kebutuhan masyarakat sehingga hukum bekerja dengan cara memberikan petunjuk tingkah laku kepada manusia dalam memenuhi kebutuhannya. Hukum berfungsi sebagai solusi atas konflik kepentingan dan memberi arah dalam perkembangan masyarakat di masa mendatang. Menurut Parsons, fungsi utama sistim hukum berseifat integratif, artinya untuk mengurangi unsur-unsur konflik yang potensial dalam masyarakat dan untuk melicinkan proses pergaulan sosial. Kompleksitas konflik yang ada pada masyarakat modern mengharuskan hukum berkembang sejalan dengan perkembangan masyarakat agar dapat mengatur pergaulan hidup diantara mereka sehingga menghadirkan kesejahteraan, kemakmuran, kesejahteraan, kerukunan serta keadilan dalam masyarakat.
  2.  Hukum tidak hanya berupa nilai-nilai yang sudah mapan, atau hanya dilihat sekedar sebagai tindakan mengeluarkan peraturan secara formal. Lebih dari itu, hukum merupakan patokan nilai yang memiliki peran dan fungsi yang sangat penting dalam proses penyusunan peraturan perundang-undangan yang demokratis. Hukum merupakan suatu sistem yang satu dengan yang lain tidak boleh saling bertentangan. Menurut Kelsen, norma hukum yang lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan norma hukum yang lebih tinggi. Oleh karena itu, hukum yang dibuat tidak boleh menimbulkan pertentangan satu sama lain, semua harus bermuara pada cita hukum yang telah disepakati. Hans Kelsen menyebut cita hukum sebagai Grundnorm atau Basic norm. Cita hukum harus dipahami sebagai dasar sekaligus pengikat dalam pembentukan perundang-undangan. Cita hukum bangsa Indonesia adalah Pancasila. Cita hukum tersebut berupa gagasan, rasa, cipta, dan pikiran, sedangkan hukum berkaitan dengan nilai-nilai yang diinginkan dan betujuan mengabdi pada nilai-nilai tersebut. Cita hukum merupakan konstruksi pikiran yang berupa keharusan untuk mengarahkan hukum pada cita-cita yang diinginkan. Menurut Rudolf Stammler, cita hukum berfungsi sebagai tolak ukur yang bersifat regulatif dan konstruktif. Tanpa cita hukum maka hukum yang dihasilkan tidak akan bermakna. Oleh karena itu, cita hukum merupakan hal terpenting yang harus diperhatikan dalam pembentukan maupun pelaksanaan hukum yang dihasilkan. Perwujudan cita hukum sangat tergantung pada kesadaran dan penghayatan para pembentuk peraturan perundang-undangan.
  3. Hukum yang berlaku saat ini atau yang biasa dikenal dengan hukum positif merupakan karya manusia sebagai cerminan kehendak dan sasaran yang hendak dicapai masyarakat. Proses pembentukan produk hukum yang demokratis melibatkan berbagai komponen sistem yang rumit dan beragam. Dalam artian, proses pembentukan peraturan peraturan harus melalui tahap sosio-politis secara final. Pemasukan tahapan “sosiologis” dan “politis” sebagai bagian dari penyusunan produk hukum yang demokratis dapat memberikan pemahaman bahwa proses pembentukan hukum memerlukan waktu yang lama dan bukan hanya sekedar proses yuridis. Proses pembentukan hukum dalam tahapan sosiologis berlangsung dalam masyarakat dan ditentukan oleh tersedianya bahan-bahan di dalamnya. Dalam konteks ini, masyarakat merupakan tempat timbulnya suatu kejadian, permasalahan atau tujuan sosial. Suatu permasalahan akan menjadi permasalahan kebijaksanaan atau policy problems apabila dijadikan oleh masyarakat sebagai permasalahan. Bila permasalahan yang timbul dapat dimasukkan menjadi policy problems maka akan memasuki tahapan politis. Tahapan ini berusaha mengidentifikasi problem yang kemudian akan merumuskan lebih jauh. Pada tahapan ini akan ditentukan apakah idea tau gagasan perlu dilanjutkan atau diubah untuk selanjutnya memasuki tahapan yuridis yang lebih memfokuskan pada penyusunan dan pengorganisasian masalah dalam hukum. Individu maupun kelompok masyarakat sangat menentukan dalam proses identifikasi dam perumusan policy problems. Faktor lingkungan sosial, ekonomi, politik, budaya, keamanan, geografi, dan sebagainya juga mempengaruhi input dalam sistem politik, yang terdiri dari eksekutif, legislatif, yudikatif, partai politik, tokoh masyarakat, dan sebagainya. Pada akhirnya, input tersebut akan menghasilkan output. Namun, hukum yang berlaku di masyarakat merupakan hasil reduksi besar-besaran terhadap beberapa kehendak masyarakat menjadi kehendak para pembentuk peraturan perundang-undangan. Akibatnya, hukum merupakan kehendak penguasa bukan murni kehendak rakyat. Orientasinya adalah pejabat merupakan otoritas yang menerapkan hukuman jika standar norma tidak ditaati. Menurut Thrasymacus, keadilan tampak dari mereka yang kuat yang membuat hukum, hukum ini hanya untuk melayani kepentingan mereka dan keadilan hanya sebuah nama yang digunakan sebagimana hukum perintahkan pada kita. Oleh karena itu, saat ini banyak peraturan perundang-undangan yang kurang memperhatikan kepentingan rakyat dan tidak mencerminkan keadilan. Salah satu contoh adalah Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi yang terlalu liberal dan tidak memperhatikan kepentingan dan keadilan dalam masyarakat. Faktanya, keberadaan Undang-Undang Migas tersebut tidak melindungi dan mendukung upaya Negara untuk pemenuhan kebutuhan masyarakat akan minyak dan gas bumi, melainkan memberikan sebesar-besarnya peluang dan kesempatan pada swasta maupun kontraktor untuk melakukan eksplorasi dan eksploitasi akan minyak dan gas bumi
  4. Dalam kehidupan hukum Indonesia terjadi pergeseran terhadap paradigma hukum, yaitu dari Paradigma Moral yang bersifat egalitarian, menjadi Paradigma Kekuasaan. Mendominasinya paradigma kekuasaan mengakibatkan hukum tidak mampu memainkan peran sebagai alat untuk mewujudkan kesejahteraan. Paradigma yang ada di suatu jaman dipengaruhi oleh rezim yang ada pada saat itu. Adanya paradigma kekuasaan yang begitu kuat di Indonesia, tidak lepas dari sejarah bangsa Indonesia. Pada era awal orde baru, terjadi penciptaan lembaga eksekutif yang sangat kuat. Hal ini menyebabkan struktur politik di Indonesia ditentukan oleh kemauan politik presiden. Dengan kekuasaan demikian, rakyat dipaksa menerima tanpa diberi hak untuk bersuara. Pada masa presiden memiliki kekuasaan yang sangat besar itu menjadikan hukum sebagai perwujudan dari keinginan dan kemauan penguasa demi kepentingannya. Pada akhirnya hukum bersifat represif yang menghendaki kepatuhan yang mutlak bagi warga Negara dan melarang adanya kritik dari warga Negara. Kekuasaan pemerintah yang sangat besar menumbuhkan kekuasaan yang luar biasa hingga menyebabkan hukum kehilangan otonomi, otoritas, dan profesionalisme dalam keberlakuannya. Pasca Soeharto, kekuasaan beralih ke tangan Habibie. Dengan Kabinet reformasi pembangunannya mencoba merespon  tuntutan dan aspirasi rakyat. Namun, karena rezim orde lama telah melekat di setiap lembaga pemerintahan, mengakibatkan perubahan tidak dapat dilakukan dengan cepat, begitu pula dalam pembentukan perundang-undangan. Hal ini mengakibatkan tingkat kepercayaan masyarakat pada pemerintah makin lemah. Setelah era Habibie, pemerintahan beralih ke Abdurrahman Wahid (Gusdur) sebagai Presiden dan Megawai sebagai Wakil Presiden. Pada era ini lebih mengarahkan pada perubahan paradigma melanjutkan pembentukan perundang-undangan disertai penegakan hukum secara konsisten dengan memperhatikan landasan filosofis, yuridis, dan sosiologis. Kemudian Gus Dur lengser dan digantikan oleh Megawati sebagai Presiden dan Hamzah Has sebagai Wakil Presiden. Namun, pada akhirnya penataan dan penegakan hukum belum berpihak pada rakyat. Hukum yang dilandasi oleh paradigma kekuasaan menjadikan hukum yang tidak demokratis melainkan otoriter. Hal ini menimbulkan pendekatan yang tidak memihak pada rakyat dan menjadikan hukum hanya sebagai alat justifikasi terhadap tindakan penguasa dan penjaga stabilitas. Ciri hukum yang otoriter:
1.            Kaidah dasar totaliter
2.            Kaidah dasar di atas konstitusi
3.            Hukum yang membudak
4.            Birokrasi Totalitarian
5.            Trias Politika pro-forma
6.            Kepatuhan terpaksa
7.            Tipe rekayasa merusak 
Di era globalisasi saat ini, hukum diharuskan untuk tidak hanya memperhatikan karakteristik lokal melainkan juga perubahan pada tingkat global. Agar mampu melaksanakan perannya, maka hukum harus rasional (hukum harus mampu mewujudkan tujuannya di masyarakat), didukung oleh tindakan yang efisien oleh perangkat pelaksanaannya, dan harus berkaitan erat dengan pengaruh struktur sosial masyarakat agar tujuan dari hukum dapat dilaksanakan. Reformasi terhadap hukum dilakukan dengan merubah perangkat nilai dan berlanjut pada tataran substansi, struktur, prosedur, dan kultur hukumnya. 
Memasuki era globalisasi saat ini, pembentukan hukum nasional diharapkan mampu menghadapi tekanan-tekanan globalisasi yang pengaruhnya telah merambah keseluruh ranah kehidupan. Globalisasi merupakan proses kebudayaan, di mana ada kecenderungan wilayah di dunia menjadi satu dalam format sosial-politik-ekonomi. Dampak negatif dari globalisasi mengakibatkan runtuhnya norma-norma lokal. Untuk menghadapi dampak tersebut, dalam penataan hukum, Indonesia seharusnya memperhatikan cita hukum dan politik hukum nasional serta karakteristik lokal. Selain itu, Indonesia juga hendaknya memperhatikan global trend pada instrument-instrumen internasional, seperti deklarasi, konvensi, code of conduct, dan sebagainya. Yang perlu diperhatikan dalam menghadapi era globalisasi diantaranya adalah masalah hubungan antara warga Negara dan hukum serta masalah kemampuan hukum dan sistem politik bdalam memenuhi tuntutan rakyat. Oleh karena itu, dalam mengaktualisasikan tujuan masyarakat menuju pembentukan masyarakat madani maka perlu dilakukan perubahan paradigma.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar