Rabu, 09 Mei 2012

Demonstrasi Anarkis Mahasiswa dalam Penolakan Kenaikan Harga Bahan Bakar Minyak (BBM)

Rencana kenaikan BBM bersubsidi yang dilakukan oleh Pemerintah per 1 April lalu berbuntut penolakan dari sebagian besar masyarakat. Berdasarkan hasil survel LSI (Lingkaran Survei Indonesia), 86,6 % masyarakat Indonesia menolak kebijakan tersebut. Penolakan ini diwujudkan dalam bentuk aksi demonstrasi. Aksi demonstrasi tersebut dilakukan oleh berbagai kalangan, baik masyarakat “kecil”, mahasiswa, maupun gubernur dan walikota yang mendedikasikan dirinya atas nama rakyat. Terlepas dari murni tidaknya tindakan yang diperjuangkan atas nama rakyat itu, saya lebih memandang tindakan demonstrasi secara anarkis yang dilakukan oleh mahasiswa sungguh sangat memalukan dan terkesan tidak bermoral. Menurut saya, penyampaian pendapat masyarakat kepada pemerintah, khususnya oleh mahasiswa yang seharusnya memiliki etika dan intelektual, tindakan ini sangat memalukan.
Tindakan Demonstrasi memang dijamin Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat Di Muka Umum. Menurut Pasal 1 Ayat 3 Undang-Undang ini, unjuk rasa atau demonstrasi adalah kegiatan yang dilakukan oleh seorang atau lebih untuk mengeluarkan pikiran dengan lisan, tulisan, dan sebagainya secara demonstratif di muka umum. Demonstrasi dilakukan oleh setiap warga negara baik secara perorangan atau kelompok yang secara bebas menyampaikan pendapat sebagai perwujudan hak dan tanggung jawab berdemokrasi dalam kehidupan bermasyarakat, barbangsa, dan bernegara. Namun yang penting untuk digarisbawahi dalam pelaksanaan demonstrasi tersebut adalah dilakukannya demonstrasi itu secara aman, tertib, damai, dan bertanggungjawab.
Namun, melihat potret demonstrasi saat ini, pengertian demonstrasi telah bergeser. Demonstrasi yang saat ini terjadi nampaknya sudah bukan lagi merupakan wujud penyaluran aspirasi secara lisan, tertulis, maupun sebagainya secara aman, tertib, damai, dan bertanggungjawab, melainkan telah mengarah ketindakan memaksakan kehendak yang bersifat anarkis dan merusak. Belum demo kalau tidak anarkis dan membuat gempar dan resah pihak lawan yang bertentangan dengan keinginan pihak pendemo.
Demonstrasi yang seharusnya dilakukan secara damai yang sebagaimana telah diatur dalam Undang-Undang No. 9 Tahun 1998 nyatanya tidak dihiraukan. Undang-Undang ini telah berumur 14 tahun sejak diundangkan. Seiring dengan perubahan dan perkembangan masyarakat yang semakin kompleks, maka nampaknya Undang-Undang ini tidak sesuai lagi kondisi saat ini. Demonstrasi secara damai telah jarang adanya bahkan tidak ada lagi. Pergeseran ini disebabkan pula oleh anggapan para pendemo bahwa cara-cara prosedural dan cara-cara damai sudah tidak lagi didengar pemerintah. Memang, pada kenyataannya, pernyataan mereka sama sekali tidak didengar apalagi direspon oleh pemerintah. Demonstrasi secara damai dan sederhana belum mampu membuka telinga pemerintah. Sehingga tidak jarang penyaluran aspirasi dengan cara yang untuk menekan pemerintah dilakukan dengan cara kekerasan atau anarkis dilakukan.
Segala gejala yang terjadi di masyarakat tidak dapat dikesampingkan begitu saja. Pergeseran pengertian demonstrasi terjadi tidak lepas dari realitas yang terjadi di masyarakat, bahwa demonstrasi bukan lagi kegiatan yang dilakukan untuk mengeluarkan pikiran dengan lisan, tulisan, dan sebagainya secara demonstratif di muka umum secara aman, tertib, damai, dan bertanggungjawab namun merupakan tindakan memaksakan kehendak pihak lawan untuk mengikuti dan melaksanakan keinginan para pendemo.

Kenaikan Harga BBM merupakan Tindakan Rasional
Beberapa artikel yang saya baca beranggapan bahwa kenaikan harga BBM ini bertentangan dengan keputusan Mahkamah Konstitusi yang telah membatalkan Pasal  28 ayat 2 Undang-Undang No. 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi. Dalam Pasal ini menyatakan bahwa harga Bahan Bakar Minyak dan harga Gas Bumi diserahkan pada mekanisme persaingan usaha yang sehat dan wajar. Beberapa kalangan menilai bahwa tindakan Pemerintah dengan menyesuaikan harga minyak nasional dengan harga minyak dunia adalah inkonstitusional.
Menurut saya, tindakan penyesuaian harga Minyak dan Gas Bumi yang dilakukan oleh Pemerintah dapat dibenarkan. Hal ini dikarenakan harga minyak di Indonesia tidak lepas dari pengaruh harga minyak dunia. Mau tidak mau kita harus mengakui bahwa Negara ini yang (katanya) kaya akan minyak, pada kenyataannya masih mengimpor minyak dari Negara lain. Itu artinya, Negara ini bukan lagi menjadi produsen minyak, produksi minyak Indonesia lebih kecil dibandingkan konsumsinya. Mengingat hal tersebut maka rencana Pemerintah untuk menaikkan harga BBM dengan menyesuaikan harga minyak dunia bukanlah kebijakan tanpa alasan. Rencana Pemerintah menaikkan  Bahan Bakar Minyak (BBM) Premium dari Rp. 4500/liter menjadi Rp. 6000/liter pada 1 April 2012 lalu dilakukan dengan tujuan untuk mencegah makin mem”bengkak”nya dana subsidi BBM meskipun hal ini akan berimplikasi buruk bagi rakyat sebagai pengguna BBM.
Atas alasan yang tersebut di atas, maka dapat dikatakan bahwa tindakan Pemerintah dengan menaikkan atau menyesuaikan harga BBM adalah ada suatu tindakan yang rasionalisasi. Artinya, kenaikan harga BBM yang dilakukan pemerintah tidak bersifat mutlak. Pada satu kondisi ekonomi sedang bagus, harga minyak dunia juga bagus. Kemungkinan terjadi penurunan harga BBM bersubsidi sangat terbuka lebar, begitu pula dengan peluang kembali dinaikkannya harga BBM.
Penting untuk diketahui bahwa rancangan kenaikan harga BBM terlebih dahulu diajukan ke DPR. Bila kemudian harga BBM dinaikkan melalui persetujan DPR itu artinya hal itu merupakan keputusan bersama dengan memperhitungkan untung ruginya. DPR adalah wakil rakyat, sehingga apabila para wakil rakyat yang notabene telah dipilih rakyat secara demokratis menyatakan setuju akan kenaikan harga BBM maka secara tidak langsung rakyat melalui para wakilnya dianggap setuju. Begitu pula apabila DPR tidak setuju.

Penggunaan Energi Alternatif sebagai Solusi
            Indonesia sudah lama menjadi anggota OPEC dan sekarang telah menjadi net-importir minyak bumi. Impor ini belum bisa diatasi karena lebih dari 50% kebutuhan dalam negeri kita masih tergantung pada minyak. Apalagi cadangan minyak kita ini diperkirakan hanya cukup sampai 2020 saja.
Kebutuhan energi dan menentukan pilihan dari energi dari beberapa sumber energi tiap Negara dipengaruhi oleh banyak faktor, diantaranya ketersediaan sumber energi, harga energi, pilihan pemakai, kebijaksanaan energi pemerintah, pertimbangan lingkungan, pertimbangan teknologi, dan keadaan teknologi di Negara sekitarnya. Indonesia sendiri dalam hal ini memiliki banyak kemudahan dalam menentukan pilihan. Oleh karena itu, masalah diversifikasi sudah sangat mendesak untuk dilakukan.
Indonesia memiliki kekayaan alam luar biasa yang dapat digunakan sebagai sumber energi alternatif beraneka ragam. Dalam Kebijakan Pengembangan Energi Terbarukan dan Konservasi Energi di Indonesia disebutkan bahwa pengembangan sumber energi alternatif ditujukan pada 6 jenis energi yang meliputi biomassa, panas bumi, energi surya, energi angin, dan energi samudera. Dari keenam jenis energi tersebut, tiga diantaranya sudah dikembangkan secara komersial, yaitu biomassa, panas bumi, dan tenaga air. Dua jenis lainnya sedah dikembangkan tapi terbatas, yaitu energi surya dan energi angin. Sedangkan jenis energi yang sudah dikembangkan tetapi masih dalam tahap penelitian adalah energi samudera.
            Di Indonesia, minyak bumi berperan sebagai “Swing Energy”. Namun peran “Swing Energy” yang selama ini dimainkan oleh minyak bumi, kini sudah waktunya dialihkan ke non minyak bumi. Minyak bumi harus disisakan untuk ekspor dengan jalan menetapkan maksimal persediaan BBM untuk kebutuhan dalam negeri. Investasi jangka panjang untuk pengembangan gas alam, geothermal atau nuklir sekalipun, perlu lebih dinilai dengan kacamata energi.
            Pekerjaan diversifikasi energi merupakan pekerjaan yang cukup besar. Namun, melalui suatu strategi dan upaya berkesinambungan maka hal ini akan dapat diwujudkan. Dalam mewujudkannya harus memenuhi tiga prasyarat, yaitu ketersediaan dana, kemampuan teknologi, dan kemandirian sumber daya manusia. Sesungguhnya ada langkah lain untuk mensosialisasikan adanya sumber daya alternatif dari minyak bumi, salah satunya dengan sosialisasi luas door to door. Disinilah dirasa mendesak agar pemerintah dapat membentuk penyuluh energi yang dapat mengajarkan masyarakat bagaimana mengenal, memilih, dan menggunakan energi secara tepat sehingga menguntungkan bangsa Indonesia.
            Namun, denga pola masyarakat Indonesia yang cenderung konsumtif dan jumlah penduduk yang mencapai 237,6 juta jiwa dengan laju pertumbuhan penduduk (LPP) 1,49 per tahun, sepertinya langkah pemerintah dengan tindakan pembatasan energi, pemberdayaan energi alternatif, diversifikasi energi, dan langkah-langkah yang bersifat menggantikan minyak bumi sebagi konsumsi pokok masyarakat rasanya sulit untuk diwujudkan dalam waktu dekat

Sumber:
Ibrahim Hasyim, Bunga Rampai Subsidi BBM dari Dulu Hingga Sekarang, (Jakarta:Pertamina Direktorat Hilir Pemasaran dan Niaga Dinas Penyuluhan dan Pengendalian Mutu: 2000)

Ratna Kusuma Dewi, Tinjauan Yuridis terhadap Asas Kebebasan Berkontrak dalam Pengolahan Minyak Mentah antara Pusdiklat Migas Cepu dengan PT. Pertamina (Persero), (Skripsi Sarjana Hukum Universitas Diponegoro, 2012)

Ibrahim Hasyim, Siklus Krisis di Sekitar Energi, (Jakarta: Proklamasi Publishing House: 2005)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar