Rencana kenaikan BBM bersubsidi yang dilakukan oleh
Pemerintah per 1 April lalu berbuntut penolakan dari sebagian besar masyarakat.
Berdasarkan hasil survel LSI (Lingkaran Survei Indonesia), 86,6 % masyarakat
Indonesia menolak kebijakan tersebut. Penolakan ini diwujudkan dalam bentuk
aksi demonstrasi. Aksi demonstrasi tersebut dilakukan oleh berbagai kalangan,
baik masyarakat “kecil”, mahasiswa, maupun gubernur dan walikota yang
mendedikasikan dirinya atas nama rakyat. Terlepas dari murni tidaknya tindakan
yang diperjuangkan atas nama rakyat itu, saya lebih memandang tindakan
demonstrasi secara anarkis yang dilakukan oleh mahasiswa sungguh sangat
memalukan dan terkesan tidak bermoral. Menurut saya, penyampaian pendapat
masyarakat kepada pemerintah, khususnya oleh mahasiswa yang seharusnya memiliki
etika dan intelektual, tindakan ini sangat memalukan.
Tindakan Demonstrasi memang dijamin Undang-Undang Nomor 9 Tahun
1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat Di Muka Umum. Menurut Pasal 1
Ayat 3 Undang-Undang ini, unjuk rasa atau demonstrasi adalah kegiatan yang
dilakukan oleh seorang atau lebih untuk mengeluarkan pikiran dengan lisan,
tulisan, dan sebagainya secara demonstratif di muka umum. Demonstrasi dilakukan
oleh setiap warga negara baik
secara perorangan atau kelompok yang
secara bebas menyampaikan pendapat
sebagai perwujudan hak dan tanggung jawab berdemokrasi dalam kehidupan bermasyarakat, barbangsa,
dan bernegara. Namun yang penting untuk digarisbawahi dalam pelaksanaan
demonstrasi tersebut adalah dilakukannya demonstrasi itu secara aman, tertib,
damai, dan bertanggungjawab.
Namun, melihat potret demonstrasi saat ini, pengertian
demonstrasi telah bergeser. Demonstrasi yang saat ini terjadi nampaknya sudah
bukan lagi merupakan wujud penyaluran aspirasi secara lisan, tertulis, maupun
sebagainya secara aman, tertib, damai, dan bertanggungjawab, melainkan telah
mengarah ketindakan memaksakan kehendak yang bersifat anarkis dan merusak.
Belum demo kalau tidak anarkis dan membuat gempar dan resah pihak lawan yang
bertentangan dengan keinginan pihak pendemo.
Demonstrasi yang seharusnya dilakukan secara damai yang
sebagaimana telah diatur dalam Undang-Undang No. 9 Tahun 1998 nyatanya tidak
dihiraukan. Undang-Undang ini telah berumur 14 tahun sejak diundangkan. Seiring
dengan perubahan dan perkembangan masyarakat yang semakin kompleks, maka
nampaknya Undang-Undang ini tidak sesuai lagi kondisi saat ini. Demonstrasi
secara damai telah jarang adanya bahkan tidak ada lagi. Pergeseran ini
disebabkan pula oleh anggapan para pendemo bahwa cara-cara prosedural dan
cara-cara damai sudah tidak lagi didengar pemerintah. Memang, pada kenyataannya,
pernyataan mereka sama sekali tidak didengar apalagi direspon oleh pemerintah.
Demonstrasi secara damai dan sederhana belum mampu membuka telinga pemerintah.
Sehingga tidak jarang penyaluran aspirasi dengan cara yang untuk menekan
pemerintah dilakukan dengan cara kekerasan atau anarkis dilakukan.
Segala gejala yang terjadi di masyarakat tidak dapat
dikesampingkan begitu saja. Pergeseran pengertian demonstrasi terjadi tidak
lepas dari realitas yang terjadi di masyarakat, bahwa demonstrasi bukan lagi kegiatan
yang dilakukan untuk mengeluarkan pikiran dengan lisan, tulisan, dan sebagainya
secara demonstratif di muka umum secara aman, tertib, damai, dan
bertanggungjawab namun merupakan tindakan memaksakan kehendak pihak lawan untuk
mengikuti dan melaksanakan keinginan para pendemo.
Kenaikan
Harga BBM merupakan Tindakan Rasional
Beberapa artikel yang
saya baca beranggapan bahwa kenaikan harga BBM ini bertentangan dengan
keputusan Mahkamah Konstitusi yang telah membatalkan Pasal 28 ayat 2 Undang-Undang No. 22 Tahun 2001
tentang Minyak dan Gas Bumi. Dalam Pasal ini menyatakan bahwa harga Bahan Bakar
Minyak dan harga Gas Bumi diserahkan pada mekanisme persaingan usaha yang sehat
dan wajar. Beberapa kalangan menilai bahwa tindakan Pemerintah dengan
menyesuaikan harga minyak nasional dengan harga minyak dunia adalah
inkonstitusional.
Menurut saya, tindakan
penyesuaian harga Minyak dan Gas Bumi yang dilakukan oleh Pemerintah dapat
dibenarkan. Hal ini dikarenakan harga minyak di Indonesia tidak lepas dari
pengaruh harga minyak dunia. Mau tidak mau kita harus mengakui bahwa Negara ini
yang (katanya) kaya akan minyak, pada kenyataannya masih mengimpor minyak dari
Negara lain. Itu artinya, Negara ini bukan lagi menjadi produsen minyak,
produksi minyak Indonesia lebih kecil dibandingkan konsumsinya. Mengingat hal
tersebut maka rencana Pemerintah untuk menaikkan harga BBM dengan menyesuaikan
harga minyak dunia bukanlah kebijakan tanpa alasan. Rencana Pemerintah
menaikkan Bahan Bakar Minyak (BBM) Premium dari Rp. 4500/liter menjadi
Rp. 6000/liter pada 1 April 2012 lalu dilakukan dengan tujuan untuk mencegah
makin mem”bengkak”nya dana subsidi BBM meskipun hal ini akan berimplikasi buruk
bagi rakyat sebagai pengguna BBM.
Atas alasan yang
tersebut di atas, maka dapat dikatakan bahwa tindakan Pemerintah dengan menaikkan atau menyesuaikan harga
BBM adalah ada suatu tindakan yang rasionalisasi. Artinya, kenaikan harga BBM
yang dilakukan pemerintah tidak bersifat mutlak. Pada satu kondisi ekonomi
sedang bagus, harga minyak dunia juga bagus. Kemungkinan terjadi penurunan harga
BBM bersubsidi sangat terbuka lebar, begitu pula dengan peluang kembali dinaikkannya
harga BBM.
Penting untuk diketahui bahwa rancangan kenaikan harga BBM
terlebih dahulu diajukan ke DPR. Bila kemudian harga BBM dinaikkan melalui
persetujan DPR itu artinya hal itu merupakan keputusan bersama dengan
memperhitungkan untung ruginya. DPR adalah wakil rakyat, sehingga apabila para
wakil rakyat yang notabene telah
dipilih rakyat secara demokratis menyatakan setuju akan kenaikan harga BBM maka
secara tidak langsung rakyat melalui para wakilnya dianggap setuju. Begitu pula
apabila DPR tidak setuju.
Penggunaan Energi Alternatif sebagai
Solusi
Indonesia
sudah lama menjadi anggota OPEC dan sekarang telah menjadi net-importir minyak
bumi. Impor ini belum bisa diatasi karena lebih dari 50% kebutuhan dalam negeri
kita masih tergantung pada minyak. Apalagi cadangan minyak kita ini
diperkirakan hanya cukup sampai 2020 saja.
Kebutuhan energi dan
menentukan pilihan dari energi dari beberapa sumber energi tiap Negara
dipengaruhi oleh banyak faktor, diantaranya ketersediaan sumber energi, harga
energi, pilihan pemakai, kebijaksanaan energi pemerintah, pertimbangan
lingkungan, pertimbangan teknologi, dan keadaan teknologi di Negara sekitarnya.
Indonesia sendiri dalam hal ini memiliki banyak kemudahan dalam menentukan
pilihan. Oleh karena itu, masalah diversifikasi sudah sangat mendesak untuk
dilakukan.
Indonesia memiliki
kekayaan alam luar biasa yang dapat digunakan sebagai sumber energi alternatif
beraneka ragam. Dalam Kebijakan Pengembangan Energi Terbarukan dan Konservasi
Energi di Indonesia disebutkan bahwa pengembangan sumber energi alternatif ditujukan
pada 6 jenis energi yang meliputi biomassa, panas bumi, energi surya, energi
angin, dan energi samudera. Dari keenam jenis energi tersebut, tiga diantaranya
sudah dikembangkan secara komersial, yaitu biomassa, panas bumi, dan tenaga
air. Dua jenis lainnya sedah dikembangkan tapi terbatas, yaitu energi surya dan
energi angin. Sedangkan jenis energi yang sudah dikembangkan tetapi masih dalam
tahap penelitian adalah energi samudera.
Di
Indonesia, minyak bumi berperan sebagai “Swing Energy”. Namun peran “Swing
Energy” yang selama ini dimainkan oleh minyak bumi, kini sudah waktunya
dialihkan ke non minyak bumi. Minyak bumi harus disisakan untuk ekspor dengan
jalan menetapkan maksimal persediaan BBM untuk kebutuhan dalam negeri. Investasi
jangka panjang untuk pengembangan gas alam, geothermal atau nuklir sekalipun,
perlu lebih dinilai dengan kacamata energi.
Pekerjaan
diversifikasi energi merupakan pekerjaan yang cukup besar. Namun, melalui suatu
strategi dan upaya berkesinambungan maka hal ini akan dapat diwujudkan. Dalam
mewujudkannya harus memenuhi tiga prasyarat, yaitu ketersediaan dana, kemampuan
teknologi, dan kemandirian sumber daya manusia. Sesungguhnya ada langkah lain
untuk mensosialisasikan adanya sumber daya alternatif dari minyak bumi, salah
satunya dengan sosialisasi luas door to
door. Disinilah dirasa mendesak agar pemerintah dapat membentuk penyuluh
energi yang dapat mengajarkan masyarakat bagaimana mengenal, memilih, dan
menggunakan energi secara tepat sehingga menguntungkan bangsa Indonesia.
Namun,
denga pola masyarakat Indonesia yang cenderung konsumtif dan jumlah penduduk
yang mencapai 237,6 juta jiwa dengan laju pertumbuhan penduduk (LPP) 1,49 per
tahun, sepertinya langkah pemerintah dengan tindakan pembatasan energi,
pemberdayaan energi alternatif, diversifikasi energi, dan langkah-langkah yang
bersifat menggantikan minyak bumi sebagi konsumsi pokok masyarakat rasanya
sulit untuk diwujudkan dalam waktu dekat
Sumber:
Ibrahim
Hasyim, Bunga Rampai Subsidi BBM dari
Dulu Hingga Sekarang, (Jakarta:Pertamina Direktorat Hilir Pemasaran dan
Niaga Dinas Penyuluhan dan Pengendalian Mutu: 2000)
Ratna
Kusuma Dewi, Tinjauan Yuridis terhadap
Asas Kebebasan Berkontrak dalam Pengolahan Minyak Mentah antara Pusdiklat Migas
Cepu dengan PT. Pertamina (Persero), (Skripsi Sarjana Hukum Universitas Diponegoro,
2012)
Ibrahim
Hasyim, Siklus Krisis di Sekitar Energi,
(Jakarta: Proklamasi Publishing House: 2005)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar