Rabu, 09 Mei 2012

PENAGIHAN KARTU KREDIT MENGGUNAKAN JASA DEBT COLLECTOR

1. KASUS POSISI
Sekjen Partai Pemersatu Bangsa (PPB), Irzen Octa (50), merupakan pengguna kartu kredit Citibank yang tewas akibat penagihan yang dilakukan pihat Citibank dengan menggunakan jasa debt collector. Ia memiliki tagihan kartu kredit sebesar Rp 48.000.000,00. Namun, tiba-tiba  jumlah tagihan yang harus dibayar mencapai Rp 100.000.000,00. Kemudian ia sengaja mendatangi Citibank Cabang Menara Jamsostek, Jalan Gatot Subroto, Mampang Prapatan sesuai panggilan dari pihak Citibank terkait pelunasan utang Irzen Octa. Namun, justru Octa diminta masuk ke sebuah Ruang negosiasi khusus berukuran sekitar 2×3 meter. Ruangan tersebut merupakan sebuah ruangan cleo di salah satu lantai bank tersebut untuk diinterogasi terkait tunggakan utang kreditnya.
Diruangan tersebut, Irzen diduga mengalami tindak penganiayaan oleh para debt collector yang dipekerjakan pihak Citibank. Sebelum ditemukan tewas, ia sempat dibawa ke para debt collector, yaitu Arief Lukman, Donal Haria, Hendri Waslinton, Yunizar, dan Boy Anto. Di ruangan itu, kata Kapolres, korban diintrogasi mulai dari pukul 10.30 sampai 12.00 WIB. Saat interogasi itu korban memperoleh tekanan-tekanan dari pihak debt collector. Saat interogasi ada yang memukul meja, menendang kursi, memukul tangan dan menepuk-nepuk pundak korban. Setelah satu jam korban langsung ditinggal oleh ketiganya. Setelah beberapa lama korban ditinggal di ruangan itu, salah seorang saksi melihat korban jatuh pingsan. Ada saksi yang melihat korban terjatuh pingsan sekitar pukul 12.15 WIB, kemudian dilaporkan kepada A dan baru ditangani dan dibawa ke rumah sakit sekira pukul 13.30 WIB. Korban diduga telah meninggal saat ditemukan, kemudian korban langsung dibawa ke Rumah Sakit Mintaharjo untuk diperiksa. Sewaktu autopsi ulang, berdasarkan pemeriksaan dokter Mun'im Idris ada 18 bekas luka memar. Pihak rumah sakit menyatakan korban sudah meninggal dunia dan merujuknya kembali ke RSCM untuk dilakukan otopsi oleh pihak forensik. Jenazah setelah itu kami lakukan otopsi untuk mengetahui penyebab kematian tersebut. Hasil visum RSCM terhadap jenazah, tidak ditemukan lebam yang mengindikasikan adanya penganiayaan fisik. Hanya ditemukan darah, antara lain di hidung korban yang diduga akibat dari adanya pembuluh darah di otak yang pecah.Namun demikian polisi telah menemukan adanya indikasi kuat telah terjadi tindakan kriminal yang menyebabkan jatuhnya korban jiwa di kantor Citibank itu.

2.  ISU HUKUM
Bank wajib menggunakan prinsip kehati-hatian dalam menjalankan setiap kegiatan usahanya. Prinsip kehati-hatian adalah asas atau prinsip yang menyatakan bahwa bank dalam melakukan fungsi dan kegiatan usahanya wajib bersikap hati-hati (prudent) dalam rangka melindungi dana masyarakat yang dipercayakan kepadanya. Pasal 2 UU No. 10 Tahun 1998 sebagai perubahan atas UU No. 7 Tahun 1992 tentang perbankan bahwa perbankan Indonesia dalam melakukan usahanya berasaskan demokrasi ekonomi dengan prinsip kehati-hatian.
Berdasar pada Pasal tersebut, dapat dinilai bahwa Citibank tidak menggunakan prinsip kehati-hatian pada nasabahnya. Ia tidak memberikan transparansi informasi kepada nasabahnya demi menjaga kepercayaan terhadap dana yang telah disertakan nasabah pada Citibank terkait alasan mengapa tunggakan nasabah yang mulanya Rp48.0000.000,00 tiba-tiba menjadi Rp100.000.000,00. Berdasarkan informasi yang diperoleh dari berbagai sumber, pemanggilan Irzen Octa yang dilakukan oleh pihak Citibank bukan untuk memberikan penjelasan mengenai penambahan besarnya tunggakan yang diperoleh nasabah melainkan perlakuan tidak menyenangkan yang dilakukan pihak Citibank dengan melibatkan pihak ketiga atau debt collector.
Prinsip kehati-hatian juga seharusnya diterapkan dalam pemberian perlindungan terhadap nasabahnya, baik saat ia akan, selama, maupun akan melepaskan diri sebagai nasabah (misalnya dalam penagihan maupun pembayaran tagihannya). Bank wajib melakukan kegiatan usaha sesuai dengan prinsip kehati-hatian. Termasuk memberikan perlindungan kepada nasabahnya. Citibank dinilai lalai dalam menjalankan kewajibannya sebagai perusahaan perbankan karena menggunakan cara yang merugikan kepentingan nasabah. Hal ini tidak sesuai dengan Pasal 29 Ayat (3) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan. Dimana dalam kasus penagihan kartu kredit menggunakan jasa penagih debt collector yang dilakukan oleh pihak Citibank melanggar prinsip kehati-hatian (prudential principles) hingga mengakibatkan matinya nasabah kartu kredit tersebut.

3.  ANALISIS HUKUM
Dalam Pasal 29 Ayat (3) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan disebutkan bahwa dalam memberikan kredit atau pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah dan melakukan kegiatan usaha lainnya, bank wajib menempuh cara-cara yang tidak merugikan bank dan kepentingan nasabah yang mempercayakan dananya kepada bank.
Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, dalam kasus penagihan tunggakan kartu kredit yang dilakukan oleh Citibank dengan menggunakan debt collector telah merugikan kepentingan nasabah serta melanggar peraturan yang berlaku, baik UU Perbankan, Peraturan Bank Indonesia maupun Surat Edaran Bank Indonesia. Dimana setiap melakukan kegiatan usahanya bank harus menggunakan prinsip kehati-hatian. Pasal 2 UU No. 10 Tahun 1998 sebagai perubahan atas UU No. 7 Tahun 1992 tentang perbankan bahwa perbankan Indonesia dalam melakukan usahanya berasaskan demokrasi ekonomi dengan prinsip kehati-hatian. Prinsip ini harus diterapkan pula dalam prosedur atau cara bank menarik nasabahnya untuk menggunakan kartu kredit.
Selain itu, prinsip kehati-hatian juga dilanggar oleh Citibank dalam manajemen resiko pemberian kredit. Dimana seharusnya bank penerbit kartu kredit harus mengetahui benar mengenai diri calon nasabahnya. Manajemen bank sendiri yang tidak teliti dalam memperoleh data-data ketika baru pertama kali aplikasi kartu kredit tersebut diproses. Alias data yang diperoleh bank penerbit kartu kredit itu sebenarnya palsu, dengan cara menggunakan nama dan alamat orang lain. Bank penerbit kartu kredit tidak meneliti kebenaran dan keakuratan data nasabahnya. Cukup hanya mengisi formulir aplikasi, atau cukup dengan melalui penawaran melalui telepon, tanpa ada verifikasi data di lapangan sama sekali.
Menurut penuturan Pengajar di Fakultas Hukum Universitas Trisakti, dahulu sulit untuk mengajukan aplikasi, namun sekarang malah calon nasabah dikejar-kejar bahkan dipaksa, hanya dengan modal fotocopy KTP. Bank seharusnya selektif dalam memilih nasabah pengguna kartu kredit. Selain itu, harus memberi batasan minimum nominal kartu kredit dan penghasilan nasabah itu sendiri supaya kedepannya tidak menunggak utang karena sesuai kemampuan. Padahal potensi pasar kartu kredit atau kredit konsumsi lainnya tentu akan semakin meningkat seiring dengan membaiknya kesejahteraan masyarakat. Tetapi, peningkatan itu bukan tanpa risiko bagi bank penyalur kredit. Risiko yang dihadapi berupa kredit macet atau bermasalah. Pelanggaran prinsip kehati-hatian ini, dapat menjadi akar terjadinya kredit macet, dan yang lebih parah lagi penagihan dengan penggunaan jasa tagih atau debt collector.
Kasus meninggalnya Irzen Octa akibat penagihan kartu kredit dengan menggunakan jasa debt collector oleh Citibank menjadi preseden buruk bagi dunia perbankan. Dalam hal penggunaan debt collector, Peraturan Baank Indonesia (PBI) maupun SEBI memberikan peluang bagi bank untuk menggunakan jasa penagih utang. Hal ini termuat dalam dalam PBI No. 11/11/PBI/2009 tentang Penyelenggaraan Kegiatan Alat Pembayaran dengan Menggunakan Kartu (“PBI”) jo SE BI No. 11/10/DASP Perihal Penyelenggaraan Kegiatan Alat Pembayaran dengan Menggunakan Kartu tanggal 13 April 2009 (“SEBI”). Dalam PBI dan SEBI ini, diatur bahwa:
  1. Dalam hal bank menggunakan jasa pihak lain untuk melakukan penagihan, maka hal ini wajib diberitahukan kepada pemegang Kartu 
  2. Bank wajib memastikan bahwa tata cara, mekanisme, prosedur, dan kualitas pelaksanaan kegiatan oleh pihak lain tersebut sesuai dengan tata cara, mekanisme, prosedur, dan kualitas pelaksanaan kegiatan yang dilakukan oleh bank itu sendiri;Adrianus menilai fenomena debt collector itu sudah biasa. Sejak ada kebutuhan, ada pasar, ada demmand, jasa itu akan tetap dipakai. Di luar negeri itu sudah biasa menggunakan jasa debt collector. Menurut dia, ada dua hal yang perlu diperhatikan dalam menggunakan jasa debt colletor. Pertama, debt collector digunakan oleh pihak-pihak yang memiliki integritas dan sesuai prosedur. Kedua, antara bank dan peminjam ada ikatan tersendiri, di mana sang peminjam tidak bisa lepas dari tanggung jawab secara tidak langsung. Namun, penggunaan jasa debt collector sebaiknya dilarang karena melihat track record debt collector yang sering kali menggunakan kekerasan serta melanggar hukum. Pengamat perbankan dan keuangan Farial Anwar juga menyarankan perbankan harus memiliki unit tersendiri dalam melakukan tagihan utang terhadap kredit macet nasabahnya.  Pendekatan yang lebih elegan dan manusiawi, lanjut Farial, sejatinya malah membuat pihak bank disegani oleh nasabah. Pakar hukum bisnis Dr. Yenti Gamasih mengatakan, pihak bank membentuk divisi tersendiri tanpa melibatkan perusahaan pengalihan tenaga kerja atau outsourcing
3.  Penagihan oleh pihak lain tersebut hanya dapat dilakukan jika kualitas tagihan Kartu Kredit dimaksud telah termasuk dalam kategori kolektibilitas diragukan atau macet;
Namun, lain halnya dengan Citibank, dimana pihak Citibank telah menyalahi aturan tersebut dengan memberikan kuasa pada debt collector sebelum nasabahnya tergolong pada tingkat kategori kolektibilitas diragukan atau macet

4.    Bank harus menjamin bahwa penagihan dilakukan dengan cara-cara yang tidak melanggar hukum; Surat Edaran Bank Indonesia (BI) No 11/10/DASP dibuat di Jakarta 13 April 2009 halaman 39 ayat b berbunyi Penerbit (bank) harus menjamin bahwa penagihan oleh pihak lain tersebut harus dilakukan dengan cara-cara yang tidak melanggar hukum. PBI No 11/11/PBI/2009 tentang Penyelenggaraan Kegiatan Alat Pembayaran dengan Menggunakan Kartu Kredit,terutama Pasal 17 ayat 5, sudah ditegaskan, penerbit kartu kredit wajib menjamin penagihan,baik yang dilakukan penerbit kartu kredit atau menggunakan jasa pihak lain,dilakukan sesuai dengan ketentuan Surat Edaran BI. Menurutnya,sesuai dengan PBI, setiap jasa tenaga penagih harus punya izin operasional sesuai dengan hukum dan harus tunduk dalam perjanjian kerja sama dengan bank.

5.    Perjanjian kerjasama antara bank dan pihak lain untuk melakukan penagihan transaksi Kartu Kredit tersebut harus memuat klausula tentang tanggung jawab bank terhadap segala akibat hukum yang timbul akibat dari kerjasama dengan pihak lain tersebut. Pihak Citibank telah memberikan kuasa pada jasa penagih hutang atau debt collector, maka bank yang bersangkutan harus ikut bertanggungjawab atas hal yang dilakukan debt collector. Dengan penagihan menggunakan jasa debt collector, pihak bank harus menjamin bahwa penagihan dilakukan dengan cara-cara tidak melanggar hukum. Perjanjian kerjasama antara bank dan pihak ketiga itu harus memuat klausula tentang tanggung jawab bank terhadap segala akibat hukum yang timbul juga harus ikut mempertanggungjawabkan hal-hal yang dilakukan oleh debt collector yang telah ditunjuknya. Salah satu pakar hukum perbankan Sutan Remi Sjahdeini pada dialog interaktif di salah satu stasiun televisi swasta 6 April 2011 berpendapat pihak bank harus ikut bertanggung jawab karena bertindak sebagai pihak yang memberikan kuasa.  Sebelum menggunakan jasa penagih debt collector sebaiknya digunakan cara mediasi. Peraturan Bank Indonesia Nomor: 10/1/PBI/2008 tanggal 29 Januari 2008 tentang Perubahan Atas Peraturan Bank Indonesia Nomor 8/5/PBI/2006 tentang Mediasi Perbankan berlaku Tanggal 29 Januari 2008 yang merupakan Perubahan atas PBI No. 8/5/PBI/21006 tentang Mediasi Perbankan didasarkan pada realitas bahwa pembentukan lembaga mediasi yang independen oleh asosiasi perbankan sampai dengan akhir tahun 2007 belum dapat dilaksanakan karena berbagai faktor, antara lain faktor sumber daya manusia dan pendanaan, sementara pelaksanaan fungsi mediasi perbankan oleh Bank Indonesia sesuai PBI diatas hanya dapat dilaksanakan sampai dengan akhir 2007. Dengan memperhatikan bahwa pelaksanaan mediasi perbankan sebagai alternatif penyelesaian sengketa di bidang perbankan bermanfaat bagi tujuan perlindungan kepentingan nasabah dan terpeliharanya reputasi bank, maka pelaksanaan fungsi mediasi perbankan pasca 2007 akan terus dilakukan oleh Bank Indonesia sampai dengan terbentuknya lembaga mediasi perbankan yang independen. Di Indonesia, aturannya belum serinci ini. Bank Indonesia berbekal Peraturan BI nomor 11/11/PBI/2009 dalam pasal 21 hanya menyatakan: Dalam hal Penerbit melakukan kerja sama dengan pihak-pihak di luar pihak lain sebagaimana diatur dalam Pasal 13, maka Penerbit bertanggung jawab atas kerja sama tersebut.

4.            PENDAPAT HUKUM (LEGAL MEMORANDA)
Bank adalah lembaga resmi yang memiliki mekanisme dan prosedur pemberian kredit kepada nasabah yang ketat dan selektif. Dalam pemberian kredit, bank seharusnya memperhatikan rinsip kehati-hatian dimana bank seharusnya benar-benar mengetahui bagaimana kondisi ekonomi nasabahnya guna menghindari adanya gagal tagih atau kredit macet. Penggunaan kartu kredit dapat meningkatkan timbulnya kredit macet atau non performing loan (NPL). Selain itu, dapat meningkatkan pula penggunaan  jasa penagih utang alias debt collector. Selama ini jasa debt collector menjadi andalan perbankan menagih utang macet. Tewasnya nasabah kartu kredit Citibank, Irzen Octa, berpotensi menurunkan kinerja bisnis kartu kredit. Penagihan secara paksa dilakukan bila pinjamannya belum dikembalikan pada waktu yang ditentukan.
BI seharusnya penghapusan jasa debt collector karena dalam praktiknya penggunaan debt collector sering kali dilakukan dengan cara yang melanggar hukum. Fenomena debt collector justru menunjukkan makin suburnya praktik premanisme di Indonesia. Bank-bank melegalkan premanisme sebagai bagian dari tindak kriminal yang sebenarnya tengah diperangi oleh aparat keamanan. Kegiatan pelaksanaan jasa penagih utang diharapkan agar terdaftar ke lembaga pemerintahan karena kegiatan penagihan seperti itu tidak terpantau oleh kepolisian, pihak kepolisian menginginkan kegiatan tersebut didaftarkan ke lembaga-lembaga pemerintahan seperti Kementerian Hukum dan HAM serta Kementerian Keuangan. BI memiliki kewenangan dan tanggung jawab yang utuh untuk menetapkan perizinan, pembinaan dan pengawasan bank serta pengenaan sanksi terhadap bank yang tidak mematuhi peraturan perbankan yang berlaku. Sehingga lebih baik, bila pihak bank menggunakan jasa aparat keamanan dalam melakukan penagihan agar tidak terjadi dugaan kekerasan yang menyebabkan orang menjadi trauma atau meninggal dunia.
Sebenarnya UU memberikan jaminan kepastian hukum kepada bank ketika menyalurkan kredit bahkan tanpa agunan tambahan berupa harta, yakni dengan memberikan jaminan umum sebagaimana tercantum dalam Pasal 1131 dan 1132 KUH Perdata. Pasal itu menyebutkan semua harta kekayaan si berhutang baik bergerak dan atau tidak bergerak, yang sudah ada maupun yang akan ada menjadi jaminan atas seluruh perjanjian hutangnya dengan bank. Maka apabila terjadi kredit macet seluruh harta benda si berhutang dapat dijual lelang dan dibagi-bagi menurut besar kecilnya piutang masing-masing bank. Adapun pelaksanaan lelang berdasarkan Pasal 1131 dan 1132 KUHPerdata harus mendapatkan penetapan pengadilan terlebih dahulu. Apabila si berhutang tidak mau atau ‘nakal’ untuk melunasi hutangnya padahal ia mampu, maka UU memungkinkan untuk menggunakan lembaga paksa badan seperti sandera (gizjeling; pasal 209-223 HIR dan Pasal 242-256 Rbg) yang sempat dihapus keberadaannya oleh Mahkamah Agung karena dianggap bertentangan dengan nilai-nilai perikemanusiaan, martabat manusia, dan peradaban. Istilah paksa badan atau sandera ini jika dikaitkan dengan konsep imprisonment for civil debts berarti merampas kebebasan atau kemerdekaan atau menahan si berhutang bertentangan dengan kemauannya. Tujuannya mendesak atau menekan si berhutang melaksanakan pembayaran hutangnya. Adapun alasan diberlakukannya kembali lembaga paksa badan atau sandera (Perma No 1 Tahun 2000) adalah dalam rangka menghadapi si berhutang ‘nakal’.
Dalam hal ini, nilai perikemanusiaan harus dikaji dan diuji keseimbangannya dengan nilai kepentingan umum berdasarkan prinsip hak siapa yang lebih diutamakan. Menurut prinsip ini, kepentingan umum harus diutamakan atau diprioritas dari kepentingan individu. Dengan kata lain, menyelamatkan kepentingan umum, jauh lebih tinggi nilai harganya daripada melindungi kepentingan seorang si berhutang ‘nakal’. Oleh karena itu, nilai kemanusiaan dan HAM tidak layak dipergunakan sebagai tameng untuk melindungi si berhutang ‘nakal’ dari pertanggungjawaban hukum untuk membayar hutangnya. Namun yang perlu diperhatikan adalah upaya hukum lembaga paksa badan atau sandera untuk memaksa si berhutang melunasi hutangnya sebagaimana yang diatur undang-undang hanya bisa dilakukan pejabat yang ditunjuk negara yaitu Pengadilan Negeri melalui panitera/juru sita. Supaya pelaksanaan paksa badan dapat berjalan baik dan untuk menghindari perlawanan atau kemungkinan si berhutang tersebut melarikan diri Pengadilan Negeri melalui panitera/jurus sita dapat meminta bantuan alat negara, yaitu kepolisian.
Selain upaya hukum di atas, ternyata masih ada dimungkinkan jalan lain yang lebih sederhana, murah dan positif yaitu dengan prinsip win-win solution daripada harus melalui pengadilan, yaitu melalui Lembaga Mediasi Perbankan.

--------------------Tugas Hukum Perbankan-----------------------






Tidak ada komentar:

Posting Komentar